Sejarah Kota Payakumbuh

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, adalah pantas bila kita menyimak kembali tulisan Rusli Amran dalam buku Plakat Panjang yang terkenal itu. Menurut Rusli, Lareh dipimpin oleh seorang Tuanku Lareh (Angku Lareh). Jabatan ini merupakan jabatan tertinggi para pribumi (satu-satu ada juga kaum pribumi jadi regent, tapi sedikit jumlahnya.)
Tugas Tuanku Lareh adalah menjalankan perintah dari atas. Bertanggangung jawab atas keamanan, tanaman paksa kopi, mengerjakan sawah, menjamin keadaan jalan-jalan maupun jembatan di larasnya. Kecuali itu, Tuanku Lareh menurut Rusli Amran, harus mengetahui keadaan di daerahnya dan menulis ke atas, menyelesaikan sengketa-sengketa tertentu, dan bekerjasama dengan para penghulu suku.
Namun dalam segala sepak terjangnya, Tuanku Lareh harus tunduk pada setiap pejabat Belanda yang ada di daerahnya. Dalam arti kata, tidak satupun putusan Tuanku Lareh boleh bertentangan atau tidak mendapat persetujuan pemerintah Belanda selaku atasannya. Dituliskan Rusli Amran, Tuanku Lareh mula-mula mendapat penghasilan dari komisi kopi yang dihasilkan di daerahnya.
Selain itu, dia juga mendapat uang saku dari pajak pasar dan pajak janjang atau pajak tiap rumah-rumah. Namun untuk yang terakhir (pajak janjang-red) hanya berlaku di sejumlah daerah. Kemudian, Tuanku Lareh juga memiliki penghasilan tambahan dari kerja sebagai pengangkat kopi di daerahnya. Bila ditotal, penghasilan Tuanku Lareh setiap bulannya mencapai 60 hingga 80 gulden. Sedangkan gaji seorang Kapalo Nagari sekitar 20 gulden tiap bulannya.
Untuk memperlancar kegiatan dan urusannya, Tuanku Lareh diizinkan penjajah Belanda memiliki 2 sampai 6 orang pembantu pribadi yang disebut dengan istilah Jaga. Sementara untuk kegiatan rodi alias kerja paksa, dia bersama 4 anggota keluarganya, dibebaskan atau boleh tidak bekerja.
Masih menurut Rusli Amran, sekitar akhir abad 19 lalu dan awal abad ke 20, jumlah Lareh banyak sekali, kira-kira 140 (surat Heckler 23 Juni 1906, Mo.2874). Sedangkan jumlah penghulu kepala di tiap Lareh tidak tentu. Ada Tuanku Lareh yang membawahi 17 Kapalo Panghulu, seperti di Tujuah Koto Talago, Limopuluah Koto. Ada yang membawahi 10 Kapalo Panghulu, semisal di Lareh Banuhampu dan Ampek Koto Agam.
Ada pula yang cuma membawahi satu Penghulu Kepala, contohnya di Lubuakatarab. Malahan, ada yang sama sekali tidak membawahi Penghulu Kepala, seperti di Ujuang Gadiang dan Sikilang, Pasaman.
Khusus di Luhak Limopuluah, terdapat 13 Lareh, dengan pimpinan Tuanku Lareh. Ketigabelas Lareh ini membawahi 51 Nagari.Sedangkan sekarang, jumlah nagari di Luhak Limopuluah mencapai 88 nagari, terdiri dari 78 di Kabupaten Limapuluh Kota, 8 di Kota Payakumbuh. Sedangkan di daerah V Koto Kampa yang secara adat masuk bagian Luhak Limopuluah belum dihitung, karena saat ini sudah masuk wilayah administrasi Provinsi Riau.
Payakumbuh mulai terkenal sejak Perang Paderi berkecamuk di Ranah Minang. Namun setelah perang itu usai sekitar tahun 1837, nama Payakumbuh justru tetap dikenal. Toh buktinya, penjajah Belanda yang mendirikan sistem pemerintahan baru di Sumatera Barat bernama Residensi, tetap memandang penting Payakumbuh dengan membentuk Afdeling Luhak Limopuluah yang berkedudukan di kota ini.
Residensi sendiri dikepalai oleh seorang Residen yang berkedudukan di Padang. Residensi dibagi atas beberapa Afdeling dan Onder Afdeling. Khusus untuk Luhak Limopuluah, dijadikan satu Afdeling yang dikepalai Assiten Residen dan berkedudukan di Payakumbuh (Baca: Buku 25 Tahun Payakumbuh).
Sedangkan Afdeling Luhak Limopuluah, dipecah menjadi empat Onder Afdeling. Setiap Onder Afdeling dipimpin oleh seorang bergelar Controuleur.
Keempat Onder Afdeling di Luhak Limopuluah ialah Onder Afdeling Payakumbuh, Onder Afdeling Pangkalan Koto Baru, Onder Afdeling Suliki, dan Onder Afdeling Bangkinang. Kemudian, pada tiap Onder Afdeling terdapat Nagari yang dikepalai oleh Nagari Hoofd atau Kepala Nagari alias Tuak Palo.
Namun, pada beberapa tempat, ada juga Nagari-Nagari yang justru dugabung menjadi satu Keselarasan dengan pimpinan Lareh atau Angku Lareh.
Semasa ini, jangankan bertemu dengan Residen, Assisten Residen, Controuleur, atau Lareh alias Angku Lareh. Bertemu dengan kotoran kuda milik Kepala Nagari alias Tuak Palo saja, rakyat sudah cemas. Mereka takut akan terjadi apa-apanya.
Kembali pada sistem pemerintahan Penjajahan Belanda, ternyata juga mengalami perubahan. Sistem Kelarasan dibawah pimpinan Laras alias Angku Lareh, bertukar nama menjadi Distrik dengan pemimpin bernama Onder Distrik (Baca Buku: Plakat Panjang Rusli Amran).
Pertukaran yang mirip dengan gaya pemerintahan Indonesia saat menyulap Nagari menjadi Desa dan kembali menjadi Nagari itu, dilakukan penjajah Belanda sekitar tahun 1913. Belum diketahui apa penyebab paling utama perubahan sistem pemerintahan ini dilakukan penjajah asal negeri kincir angin tersebut
Setelah nagari-nagari berkembang, lengkap dengan persyaratannya: punya Masjid, balai adat, jalan, pandam pekuburan, tepian tempat mandi, dan gelanggang permainan. Maka, sejumlah pemuka masyarakat dan cerdik cendikia Luhak Limopuluah tempoe doeloe, berkumpul untuk menentukan batas pembagian ulayat (tahun berkumpul masih dalam penelitian).
Dalam pertemuan tersebut, disepakati, batas-batas alias barih-balobeh Luhak Limopuluah. Lantas, dimanakan posisi Payakumbuh menurut barih-balobeh itu?
Menjelang pertanyaan di atas dijawab, ada baiknya kita ingat kembali, petuah tetua tempoe doeloe yang sering diajarkan kepada anak-anak muda di surau (penulis beruntung pernah merasakannya).
Menurut orang tua-tua, yang dinamakan dengan daerah Luhak Limopuluah ialah daerah yang terletak dari Sialang Balantak Basi sampai ke Sisauik Sungai Rimbang, hilirnya sampai di Sipisak Pisau Hanyuik. Dari Durian Ditakuak Rajo sampai ke Siluka Pinang Tungga. Dari Pinang Mancuang Kulik sampai ke Gunung Sailan Mudiak.
Mantan Pucuk Pimpinan Lembaga Adat Alam Kerapatan Minangkabau (Alm) H Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie, dalam berbagai diskusi dengan penulis, membenarkan hal tersebut. Bahkan, tokoh tiga zaman ini dengan jelas memaparkan, dimana daerah-daerah yang disebut dengan Sialang Balantak Basi, Sipisak Pisau Hanyuik, Sisauak Sungai Rimbang, Durian Ditakuak Rajo, Siluka Pinang Tungga, Pinang Mancuang Kulik, dan Gunung Sailan Mudiak itu.
Mungkin, pada kesempatan lain dan tulisan yang lain pula, akan kita urai daerah-daerah ini. Sebab sekarang, kita kembali dulu pada musyawarah niniak mamak dan tokoh-tokoh masyarakat Luhak Limopuluah di Balai Koto Tinggi, Sitanang Muaro Lakin (sekarang Sitanang jadi Nagari dalam Kecamatan Lareh Sago Halaban, Kabupaten Limapuluh Kota).
Ternyata, dalam musyawarah tersebut, juga ditetapkan, bahwa Luhak Limopuluah terbagi atas lima ulayat atau disebut juga dengan Ulayat Limo Rajo. Masing-masing ulayat dipimpin oleh seorang yang disebut Rajo.
Para Rajo ini hanya didahulukan selangkah, ditingggikan seranting. Meskipun demikian, mereka memiliki peranan dan menjadi tokoh yang disegani dalam masyarakat.
Adapun Ulayat Limo Rajo itu ialah: Ulayat Rajo di Hulu (berkedudukan di Situjuah Banda Dalam), Ulayat Rajo di Luhak (berkedudukan di Aia Tabik Minyak Selabu), Ulayat Rajo di Lareh (berkedudukan di Sitanang Muaro Lakin), Ulayat Rajo di Ranah (berkedudukan di Talago Gantiang), dan Ulayat Rajo di Sandi (berkedudukan di Kumbuah Nan Payau), sebagian juga menyebut di Koto Nan Godang).
Masing-masing ulayat ini dilengkapi pula dengan batas, barih balobeh ulayat, serta orang-orang kebesarannya. Untuk Ulayat Rajo di Hulu, sebagai rajanya ialah Datuk Simagayur Nan Mangiang (tapi sebagian ada juga yang berpendapat Datuk Marajo Simagayur).
Untuk Ulayat Rajo di Luhak sebagai rajanya ialah Datuk Majo Indo Nan Mamangun. Kemudian, untuk Ulayat Rajo di Lareh, ditetapkan sebagai rajanya Datuk Paduko Marajo. Sedangkan untuk Ulayat Rajo di Ranah yang menjadi rajanya ialah Datuk Bandaro Hitam. Sementara untuk Ulayat Rajo di Sandi sebagai rajanya ialah Datuk Parmato Alam Nan Putiah.
Kota Padang Panjang
Kota Padang Panjang | ||
---|---|---|
![]() Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) |
||
|
||
Semboyan: Padang Panjang kota Serambi Mekah | ||
![]() Letak Padang Panjang di Sumatera Barat |
||
|
||
Kota ini memiliki julukan sebagai Kota Serambi Mekkah, dan juga dikenal sebagai Mesir van Andalas.[2] Sementara wilayah administratif kota ini dikelilingi oleh wilayah administratif kabupaten Tanah Datar.
Kota Bukittinggi
Kota Bukittinggi | |||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
|
|||||||||||
|
|||||||||||
Julukan: Paris Van Andalas | |||||||||||
Semboyan: Saayun Salangkah (dari Bahasa Melayu yang artinya "Melangkah Demi Melangkah") | |||||||||||
![]() Letak Bukittinggi di Sumatera Barat |
|||||||||||
|
|||||||||||
Koordinat: ![]() |
|||||||||||
Negara | Indonesia | ||||||||||
Provinsi | Sumatera Barat | ||||||||||
Pemerintahan | |||||||||||
• Wali kota | H. Ismet Amzis, S.H. | ||||||||||
Area | |||||||||||
• Total | 25.24 km2 (9.75 mil²) | ||||||||||
Populasi (2010[1]) | |||||||||||
• Total | 110.954 | ||||||||||
• Kepadatan | 4,400/km2 (11,000/sq mi) | ||||||||||
Zona waktu | WIB (UTC+7) | ||||||||||
Kode wilayah | +62 752 | ||||||||||
Situs web | www.bukittinggikota.go.id |
"Bukittinggi" beralih ke halaman ini. Untuk kegunaan lain dari Bukittinggi, lihat Bukittinggi (disambiguasi).
Kota Bukittinggi adalah kota terbesar kedua di Provinsi Sumatera Barat, Indonesia.[2] Kota ini pernah menjadi ibu kota Indonesia pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.[3] Kota ini juga pernah menjadi ibu kota Provinsi Sumatera dan Provinsi Sumatera Tengah.[4]Bukittinggi pada zaman kolonial Belanda disebut dengan Fort de Kock dan dahulunya dijuluki sebagai Parijs van Sumatra selain Kota Medan.[5] Kota ini merupakan tempat kelahiran beberapa tokoh pendiri Republik Indonesia, di antaranya adalah Mohammad Hatta dan Assaat yang masing-masing merupakan proklamator dan pejabat presiden Republik Indonesia.
Selain sebagai kota perjuangan, Bukittinggi juga terkenal sebagai kota wisata yang berhawa sejuk, dan bersaudara (sister city) dengan Seremban di Negeri Sembilan, Malaysia. Seluruh wilayah kota ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Agam. Tempat wisata yang ramai dikunjungi adalah Jam Gadang, yaitu sebuah menara jam yang terletak di jantung kota sekaligus menjadi simbol bagi kota yang berada di tepi Ngarai Sianok.
Sejarah Kota Padang
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sejarah Kota Padang tidak lepas dari pengaruh kedatangan orang-orang asing yang kemudian menetap dan membangun kota Padang.Kemudian pertumbuhan beberapa kawasan yang sedemikian pesat, mendorong terbentuknya struktur pemerintahan yang efektif untuk dapat memberikan layanan kepada masyarakatnya.
Daftar isi
Masa Awal
Menurut tambo pada masyarakat, kawasan kota ini dahulunya merupakan salah satu kawasan rantau yang didirikan oleh para perantau Minangkabau dari dataran tinggi (darek). Tempat pemukiman pertama adalah perkampungan di pinggiran selatan Batang Arau di tempat yang sekarang bernama Seberang Pebayan.[1] Seperti kawasan rantau Minangkabau lainnya, pada awalnya kawasan daerah pesisir pantai barat Sumatera berada di bawah pengaruh kerajaan Pagaruyung.[2] Namun pada awal abad ke-17, kawasan ini telah menjadi bahagian dari kedaulatan kesultanan Aceh.[3][4]Masa Kolonial
Kota Padang telah dikunjungi oleh pelaut Inggris pada tahun 1649,[5] kemudian mulai berkembang sejak kehadiran VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) pada tahun 1663, yang diiringi dengan migrasi penduduk Minangkabau dari kawasan luhak.[6] Selain memiliki muara yang bagus, VOC tertarik membangun pelabuhan dan pemukiman baru di pantai barat Sumatera untuk memudahkan akses perdagangan dengan kawasan pedalaman Minangkabau, selanjutnya pada tahun 1668, VOC telah berhasil mengusir pengaruh kesultanan Aceh dan menanamkan pengaruhnya di sepanjang pantai barat Sumatera, hal ini diketahui dari surat regent Jacob Pits kepada Raja Pagaruyung, yang berisi permintaan dilakukannya hubungan dagang kembali dan mendistribusikan emas ke kota ini.[7] Walaupun pada tanggal 7 Agustus 1669, terjadi pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan monopoli VOC, namun dapat diredam oleh VOC. Peristiwa ini dikemudian hari diabadikan sebagai tahun lahir kota Padang.[8]Peranan kota Padang sebagai kawasan pelabuhan dalam mendistribusikan hasil bumi dari pedalaman Minangkabau terus meningkat, dengan membuat beberapa kontrak dagang dengan penguasa Minangkabau, Belanda mendapatkan keuntungan yang banyak dalam monopoli perdagangan tersebut, tercatat sejak tahun 1770 diberangkatkan dari pelabuhan Muara sebanyak 0.3 miliar pikul lada dan 0.2 miliar gulden emas per tahunnya.[9]
Awal Kemerdekaan
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Mr. Abubakar Jaar diangkat sebagai walikota pertama kota Padang dalam negara kesatuan Republik Indonesia, Mr. Abubakar Jaar merupakan seorang pamong sejak zaman Belanda,[10] yang kemudian menjadi residen di Sumatera Utara.[11]Kota Depok
Depok | ||
---|---|---|
Kota di Indonesia | ||
![]() |
||
|
||
Semboyan: Paricara Darma | ||
![]() Peta lokasi Depok |
||
Negara | ![]() |
|
Provinsi | Jawa Barat | |
Hari jadi | 27 April 1999 | |
Dasar hukum | Undang-undang Nomor 12 Tahun 1999 | |
Ibu kota | Depok Jaya | |
Koordinat | LS 6° 22' 21 BT 106° 49' 39 | |
Pemerintahan | ||
• Wali Kota | Nur Mahmudi Ismail | |
• Wakil Wali Kota | M. Idris Abdul Shomad | |
Area | ||
• Total | 200,29 km2 (7,733 mil²) | |
Peringkat luas | 33 | |
Populasi (2010)[1] | ||
• Total | 1.738.570 | |
• Peringkat | 7 | |
• Kepadatan | 8.746/km2 (22.65/sq mi) | |
• Peringkat | 18 | |
Demografi | ||
• Suku bangsa | Betawi (36,7%), Jawa (33,07%), Sunda (16,5%), Batak (2,91%), Minangkabau (2,66%) | |
• Agama | Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha | |
• Bahasa | Indonesia, dll | |
Zona waktu | WIB (UTC+7) | |
Kode telepon | 021 0251 |
|
Kecamatan | 11 | |
Kelurahan | 63 | |
Situs web | www.depok.go.id |
Depok dahulu adalah kota kecamatan dalam wilayah Kabupaten Bogor, yang kemudian mendapat status kota administratif pada tahun 1982. Sejak 20 April 1999, Depok ditetapkan menjadi kotamadya (sekarang: kota) yang terpisah dari Kabupaten Bogor. Kota Depok terdiri atas 11 kecamatan, yang dibagi menjadi 63 kelurahan.
Depok merupakan kota penyangga Jakarta. Ketika menjadi kota administratif pada tahun 1982, penduduknya hanya 240.000 jiwa, dan ketika menjadi kotamadya pada tahun 1999 penduduknya 1,2 juta jiwa. Universitas Indonesia (kecuali Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Gigi, dan sebagian Program Pasca Sarjana) berada di wilayah Kota Depok.
Sejak bulan Juni 2012, Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail telah menetapkan program One Day No Car, yaitu program satu hari tanpa mobil bagi pejabat pemerintahan Kotamadya Depok. Program ini dilakukan setiap hari Selasa. [3]
Kota Palembang
![]() Pemandangan Kota Palembang. |
||
|
||
Semboyan: Palembang Kota BARI (Bersih, Aman, Rapi, dan Indah) Julukan: "Bumi Sriwijaya" |
||
![]() Lokasi Kota Palembang di Pulau Sumatera |
||
|
||
Koordinat: ![]() |
||
Negara | ![]() |
|
Hari jadi | 17 Juni 688 (usia 1326) | |
Pemerintahan | ||
• Wali kota | H. Romi Herton, SH, MH | |
Area | ||
• Total | 358.55 km2 (138.44 mil²) | |
Populasi (2012)[1] | ||
• Total | 1,708,413 jiwa | |
• Kepadatan | 4,764.78/km2 (12,340.7/sq mi) | |
Demografi | ||
• Suku bangsa | Palembang, Musi, Komering, Pasemah, Semendo, Lampung, Batak, Minangkabau, Suku Melayu, Sunda, Aceh[2] | |
• Agama | Islam (93,08%), Kristen (1,97%), Katolik (1,16%), Hindu (0,05%), Buddha (3,41%), Kong Hu Cu (0,04%), Lain-Lain (0,28%)[3] | |
• Bahasa | Palembang, Bahasa Musi, Indonesia, Jawa, Sunda, Batak | |
Zona waktu | WIB (UTC+7) | |
Kode telepon | +62 711 | |
Kecamatan | 16 | |
Desa/kelurahan | 107 | |
Situs web | www.palembang.go.id |
Sejarah Palembang yang pernah menjadi ibu kota kerajaan bahari Buddha terbesar di Asia Tenggara pada saat itu, Kerajaan Sriwijaya, yang mendominasi Nusantara dan Semenanjung Malaya pada abad ke-9 juga membuat kota ini dikenal dengan julukan "Bumi Sriwijaya". Berdasarkan prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Bukit Siguntang sebelah barat Kota Palembang, yang menyatakan pembentukan sebuah wanua yang ditafsirkan sebagai kota pada tanggal 17 Juni 688 Masehi, menjadikan kota Palembang sebagai kota tertua di Indonesia. Di dunia Barat, kota Palembang juga dijuluki Venice of the East ("Venesia dari Timur").
Kota Semarang
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Kota Semarang ꦑꦸꦛꦯꦼꦩꦫꦁ |
||
---|---|---|
Jawa ![]() |
||
![]() Kawasan Lawang Sewu |
||
|
||
Semboyan: Semarang Kota ATLAS (Aman, Tertib, Lancar, Asri, dan Sehat) |
||
![]() Lokasi Kota Semarang di Pulau Jawa |
||
|
||
Koordinat: ![]() |
||
Negara | ![]() |
|
Hari jadi | 2 Mei 1547 | |
Pemerintahan | ||
• Wali kota | Hendrar Prihadi, S.E., M.M. | |
Area | ||
• Total | 373.67 km2 (144.27 mil²) | |
Populasi (2006)[1] | ||
• Total | 1.268.292 jiwa | |
• Kepadatan | 3.929/km2 (10,180/sq mi) | |
Demografi | ||
• Suku bangsa | Jawa, Tionghoa, Arab, dll. | |
• Agama | Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha | |
• Bahasa | Jawa, Indonesia | |
Zona waktu | WIB | |
Kode telepon | +62 24 | |
Kecamatan | 16 | |
Flora resmi | Asam jawa | |
Fauna resmi | Kuntul perak | |
Situs web | www.semarang.go.id |
Kawasan Jalan Pahlawan Semarang pada tahun 2008.

Kawasan Tugu Muda

Simpang Lima Semarang dari udara