Tampilkan postingan dengan label PENGETAHUAN. Tampilkan semua postingan

sejarah bahsa jawa

Rabu, 04 Maret 2015
Posted by Anugrahbowotasa

Penyebaran Bahasa Jawa

Migrasi suku Jawa membuat bahasa Jawa bisa ditemukan di berbagai daerah, bahkan di luar negeri. Banyaknya orang Jawa yang merantau ke Malaysia turut membawa bahasa dan kebudayaan Jawa ke Malaysia, sehingga terdapat kawasan pemukiman mereka yang dikenal dengan nama kampung Jawa, padang Jawa. Di samping itu, masyarakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kawasan-kawasan luar Jawa yang didominasi etnis Jawa atau dalam persentase yang cukup signifikan adalah Lampung (61,9%), Sumatera Utara (32,6%), Jambi (27,6%), Sumatera Selatan (27%), Aceh(15,87%) yang dikenal sebagai Aneuk Jawoe. Khusus masyarakat Jawa di Sumatera Utara, mereka merupakan keturunan para kuli kontrak yang dipekerjakan di berbagai wilayah perkebunan tembakau, khususnya di wilayah Deli sehingga kerap disebut sebagai Jawa Deli atau Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera), dengan dialek dan beberapa kosa kata Jawa Deli. Sedangkan masyarakat Jawa di daerah lain disebarkan melalui program transmigrasi yang diselenggarakan semenjak zaman penjajahan Belanda.
Selain di kawasan Nusantara, masyarakat Jawa juga ditemukan dalam jumlah besar di Suriname, yang mencapai 15% dari penduduk secara keseluruhan, kemudian di Kaledonia Baru bahkan sampai kawasan Aruba dan Curacao serta Belanda. Sebagian kecil bahkan menyebar ke wilayah Guyana Perancis dan Venezuela. Pengiriman tenaga kerja ke Korea, Hong Kong, serta beberapa negara Timur Tengah juga memperluas wilayah sebar pengguna bahasa ini meskipun belum bisa dipastikan kelestariannya.

sejarah bahsa minang

Posted by Anugrahbowotasa
[tutup]

Sejarah Sumatera Barat

D

Masa Prasejarah

Di pelosok desa Mahat, Suliki Gunung Mas, Kabupaten Lima Puluh Kota banyak ditemukan peninggalan kebudayaan megalitikum. Bukti arkeologis yang dite­mukan di atas bisa memberi indikasi bahwa daerah Lima Puluh Kota dan sekitarnya merupakan daerah pertama yang dihuni oleh nenek moyang orang Minangkabau. Penafsiran ini ber­alasan, karena dari luhak Lima Puluh Kota ini mengalir beberapa sungai besar yang bermuara di pantai timur pu­lau Sumatera. Sungai-sungai ini dapat dilayari dan memang menjadi sarana transportasi yang penting dari zaman dahulu hingga akhir abad yang lalu.
Nenek moyang orang Minang­kabau diduga datang melalui rute ini. Mereka berlayar dari daratan Asia (In­dochina) mengarungi Laut Cina Sela­tan, menyeberangi Selat Malaka dan kemudian melayari sungai Kampar, sungai Siak, dan sungai Inderagiri. Setelah melakukan perjalanan panjang, mereka tinggal dan mengembangkan kebudayaan serta per­adaban di wilayah Luhak Nan Tigo (Lima Puluh Kota, Agam, Tanah Datar) sekarang.
Percampuran dengan para penda­tang pada masa-masa berikutnya me­nyebabkan tingkat kebudayaan mere­ka jadi berubah dan jumlah mereka ja­di bertambah. Lokasi pemukiman mereka menjadi semakin sempit dan akhirnya mereka merantau ke berba­gai bagian Sumatera Barat yang lainnya. Sebagian pergi ke utara, menuju Lubuk Sikaping, Rao, dan Ophir. Sebagian lain pergi ke arah selatan menuju Solok, Sijunjung dan Dharmasraya. Banyak pula di antara me­reka yang menyebar ke bagian barat, teruta­ma ke daerah pesisir, seperti Tiku, Pariaman, dan Painan.

Kerajaan-kerajaan Minangkabau

Menurut tambo Minangkabau, pada periode abad ke-1 hingga abad ke-16, banyak berdiri kerajaan-kerajaan kecil di selingkaran Sumatera Barat. Kerajaan-kerajaan itu antara lain Kesultanan Kuntu, Kerajaan Kandis, Kerajaan Siguntur, Kerajaan Pasumayan Koto Batu, Bukit Batu Patah, Kerajaan Sungai Pagu, Kerajaan Inderapura, Kerajaan Jambu Lipo, Kerajaan Taraguang, Kerajaan Dusun Tuo, Kerajaan Bungo Setangkai, Kerajaan Talu, Kerajaan Kinali, Kerajaan Parit Batu, Kerajaan Pulau Punjung dan Kerajaan Pagaruyung. Kerajaan-kerajaan ini tidak pernah berumur panjang, dan biasanya berada dibawah pengaruh kerajaan-kerajaan besar, Malayu dan Pagaruyung.

Kerajaan Malayu

Kerajaan Malayu diperkirakan pernah muncul pada tahun 645 yang diperkirakan terletak di hulu sungai Batang Hari. Berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit, kerajaan ini ditaklukan oleh Sriwijaya pada tahun 682. Dan kemudian tahun 1183 muncul lagi berdasarkan Prasasti Grahi di Kamboja, dan kemudian Negarakertagama dan Pararaton mencatat adanya Kerajaan Malayu yang beribukota di Dharmasraya. Sehingga muncullah Ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275-1293 di bawah pimpinan Kebo Anabrang dari Kerajaan Singasari. Dan setelah penyerahan Arca Amonghapasa yang dipahatkan di Prasasti Padang Roco, tim Ekpedisi Pamalayu kembali ke Jawa dengan membawa serta dua putri Raja Dharmasraya yaitu Dara Petak dan Dara Jingga. Dara Petak dinikahkan oleh Raden Wijaya raja Majapahit pewaris kerajaan Singasari, sedangkan Dara Jingga dengan Adwaya Brahman. Dari kedua putri ini lahirlah Jayanagara, yang menjadi raja kedua Majapahit dan Adityawarman kemudian hari menjadi raja Pagaruyung.

Kerajaan Pagaruyung

Sejarah propinsi Sumatera Barat menjadi lebih terbuka sejak masa pemerintahan Adityawarman. Ra­ja ini cukup banyak meninggalkan prasasti mengenai dirinya, walaupun dia tidak pernah mengatakan dirinya sebagai Raja Minangkabau. Aditya­warman memang pernah memerintah di Pagaruyung, suatu negeri yang di­percayai warga Minangkabau sebagai pusat kerajaannya.
Adityawarman adalah tokoh pen­ting dalam sejarah Minangkabau. Di samping memperkenalkan sistem pe­merintahan dalam bentuk kerajaan, dia juga membawa suatu sumbangan yang besar bagi alam Minangkabau. Kon­tribusinya yang cukup penting itu adalah penyebaran agama Buddha. Agama ini pernah punya pengaruh yang cukup kuat di Minangkabau. Ter­bukti dari nama beberapa nagari di Sumatera Barat dewasa ini yang berbau Budaya atau Jawa seperti Saruaso, Pa­riangan, Padang Barhalo, Candi, Bia­ro, Sumpur, dan Selo.
Sejarah Sumatera Barat sepe­ninggal Adityawarman hingga perte­ngahan abad ke-17 terlihat semakin kompleks. Pada masa ini hubungan Su­matera Barat dengan dunia luar, ter­utama Aceh semakin intensif. Sumate­ra Barat waktu itu berada dalam dominasi politik Aceh yang juga memo­nopoli kegiatan perekonomian di dae­rah ini. Seiring dengan semakin inten­sifnya hubungan tersebut, suatu nilai baru mulai dimasukkan ke Sumatera Barat. Nilai baru itu akhimya menjadi suatu fundamen yang begitu kukuh melandasi kehidupan sosial-budaya masyarakat Sumatera Barat. Nilai baru tersebut adalah agama Islam.
Syekh Burhanuddin dianggap sebagai pe­nyebar pertama Islam di Sumatera Barat. Sebelum mengembangkan aga­ma Islam di Sumatera Barat, ulama ini pernah menuntut ilmu di Aceh.

Kerajaan Inderapura

Jauh sebelum Kerajaan Pagaruyung berdiri, di bagian selatan Sumatera Barat sudah berdiri kerajaan Inderapura yang berpusat di Inderapura (kecamatan Pancung Soal, Pesisir Selatan sekarang ini) sekitar awal abad 12. Setelah munculnya Kerajaan Pagaruyung, Inderapura pun bersama Kerajaan Sungai Pagu akhirnya menjadi vazal kerajan Pagaruyung.
Setelah Indonesia merdeka sebagian besar wilayah Inderapura dimasukkan kedalam bagian wilayah provinsi Sumatera Barat dan sebagian ke wilayah Provinsi Bengkulu yaitu kabupaten Pesisir Selatan sekarang ini.

Masuknya bangsa Eropa

Pengaruh politik dan ekonomi A­ceh yang demikian dominan membuat warga Sumatera Barat tidak senang kepada Aceh. Rasa ketidak­puasan ini akhirnya diungkapkan de­ngan menerima kedatangan orang Belanda. Namun kehadiran Belanda ini juga membuka lembaran baru sejarah Sumatera Barat. Kedatangan Belanda ke daerah ini menjadikan Sumatera Ba­rat memasuki era kolonialisme dalam arti yang sesungguhnya.
Orang Barat pertama yang datang ke Sumatera Barat adalah seorang pelan­cong berkebangsaan Perancis yang ber­nama Jean Parmentier yang datang sekitar tahun 1529. Namun bangsa Ba­rat yang pertama datang dengan tu­juan ekonomis dan politis adalah bang­sa Belanda. Armada-armada dagang Belanda telah mulai kelihatan di pan­tai barat Sumatera Barat sejak tahun 1595-1598, di samping bangsa Belan­da, bangsa Eropa lainnya yang datang ke Sumatera Barat pada waktu itu ju­ga terdiri dari bangsa Portugis dan Inggris.

Perang Padri

Perang Paderi meletus di Minangkabau antara sejak tahun 1821 hingga 1837. Kaum Paderi dipimpin Tuanku Imam Bonjol melawan penjajah Hindia Belanda.
Gerakan Paderi menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di masyarakat Minang, seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau, sirih, juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan dan umumnya pelaksanaan longgar kewajiban ritual formal agama Islam.
Perang ini dipicu oleh perpecahan antara kaum Paderi pimpinan Datuk Bandaro dan Kaum Adat pimpinan Datuk Sati. Pihak Belanda kemudian membantu kaum adat menindas kaum Padri. Datuk Bandaro kemudian diganti Tuanku Imam Bonjol.
Perang melawan Belanda baru berhenti tahun 1838 setelah seluruh bumi Minang ditawan oleh Belanda dan setahun sebelumnya, 1837, Imam Bonjol ditangkap.
Meskipun secara resmi Perang Paderi berakhir pada tahun kejatuhan benteng Bonjol, tetapi benteng terakhir Paderi, Dalu-Dalu, di bawah pimpinan Tuanku Tambusai, barulah jatuh pada tahun 1838.

Dari Perang Padri sampai Perang Belasting

Berakhirnya perang Padri menandai perubahan besar di Minangkabau. Kerajaan Pagaruyung runtuh dan di tempatnya berdiri pemerintahan Hindia Belanda.
Belanda memerintah diatur oleh perjanjian Plakat Panjang (1833). Di dalamnya Belanda berjanji untuk tidak mencampuri masalah adat dan agama nagari-nagari di Minangkabau. Belanda juga menyatakan tidak akan memungut pajak langsung. Hal ini menyebabkan para pemimpin Minangkabau membayangkan dirinya sebagai mitra bukannya bawahan Belanda.
Sebagaimana di daerah lain di Hindia Belanda pemerintah kolonial memberlakukan Tanam Paksa (cultuurstelsel) di Sumatera Barat. Sistem ini menjadikan para pemimpin adat sebagai agen kolonial Belanda.
Penjajahan Belanda berpengaruh besar pada tatanan tradisional masyarakat Minangkabau. Di Sumatera Barat Belanda membuat jabatan baru, seperti penghulu rodi. Kerapatan Nagari dijadikan sebagai lembaga pemerintahan terendah, dan kepemimpinan kolektif para penghulu ditekan dengan keharusan memilih salah seorang penghulu menjadi Kepala Nagari. Serikat nagari-nagari (laras, Bahasa Minang: lareh) yang sebenarnya merupakan persekutuan longgar atas asas saling menguntungkan, dijadikan sebagai lembaga pemerintahan yang setara dengan kecamatan.
Belanda juga berusaha mematikan jalur perdagangan tradisional Minangkabau ke pantai timur Sumatera yang menyusuri sungai-sungai besar yang bermuara di Selat Malaka, dan mengalihkannya ke pelabuhan di pantai Barat seperti Pariaman dan Padang. Pada tahun 1908 Belanda menghapus sistem Tanam Paksa dan memberlakukan pajak langsung. Perang Belasting pun meletus.

Gerakan Islam Modernis di Minangkabau

Perlawanan terhadap Belanda di Sumatera Barat pada awal abad ke-20 memiliki warna Islam yang pekat. Dalam hal ini gerakan Islam modernis atau yang lebih dikenal sebagai Kaum Muda sangat besar peranannya.
Ulama-ulama Kaum Muda mendapat pengaruh besar dari modernis Islam di Kairo, yaitu Muhammad Abduh dan Syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan juga senior mereka Jamaluddin Al-Afghani. Para pemikir ini punya kecenderungan berpolitik, namun karena pengaruh Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang menjadi guru ulama Kaum Muda generasi pertama mereka umumnya hanya memusatkan perhatian pada dakwah dan pendidikan. Abdullah Ahmad mendirikan majalah Al-Munir (1911-1916), dan beberapa ulama kaum Muda lain seperti H. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Muhammad Thaib ikut menulis di dalamnya.
Dari majalah ini pemikiran kaum muda semakin disebarkan. Ulama Kaum Muda menantang konsep agama tradisional yang sudah mapan, menentang taqlid buta, dan merangsang sikap kebebasan berpikir. Tulisan dan pidato mereka memicu pertentangan dan perdebatan sengit di ranah Minang.
Tahun 1918 sebagai kelanjutan perguruan agama tradisional Surau Jembatan Besi berdirilah sekolah Sumatera Thawalib. Selain pendirinya H. Abdul Karim Amrullah guru lain yang berpengaruh di sekolah ini adalah Zainuddin Labai el-Yunusiah yang juga mendirikan sekolah Diniyah. Berbeda dengan Sumatera Thawalib yang terutama adalah perguruan agama sekolah Diniyah menekankan pada pengetahuan umum, seperti matematika, ilmu falak, ilmu bumi, kesehatan dan pendidikan. Kedua sekolah ini berhubungan erat.
Banyak tokoh pergerakan atau ulama seperti Ahmad Rasyid Sutan Mansur, Djamaluddin Tamin, H. Dt. Batuah, H.R. Rasuna Said dan Hamka merupakan murid atau pernah mengajar di perguruan di Padang Panjang ini.
Di kedua perguruan ini berkembang berbagai gagasan radikal. Pada dasawarsa 1920-an sebuah gagasan baru mulai menarik hati para murid sekolah Padang Panjang: komunisme. Di Padang Panjang pentolan komunis ini terutama Djamaluddin Tamin dan H. Datuk Batuah. Gagasan baru ini ditentang habis-habisan Haji Rasul yang saat itu menjadi guru besar Sumatera Thawalib.
Gerakan Islam Modernis ini tidak didiamkan saja oleh ulama tradisional. Tahun 1930 ulama tradisional mendirikan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) untuk mewadahi sekolah Islam Tradisional.

Gerakan Partai Komunis Indonesia

Djamaluddin Tamin sudah bergabung dengan PKI pada 1922. Dalam perjalanan singkat ke Aceh dan Jawa pada tahun 1923 Datuk Batuah bertemu dengan Natar Zainuddin dan Haji Misbach. Agaknya ia terkesan dengan pendapat Haji Misbach yang menyatakan komunisme sesuai dengan Islam. Bersama Djamaluddin Tamin ia menyebarkan pandangan ini dalam koran Pemandangan Islam. Natar Zainuddin kemudian kembali dari Aceh dan menerbitkan koran sendiri bernama Djago-djago. Akhir tahun itu juga Djamaluddin Tamin, Natar Zainuddin dan Dt. Batuah ditangkap Belanda.
Setelah penangkapan tersebut pergerakan komunis malah menjadi-jadi. Tahun 1924 Sekolah Rakyat didirikan di Padang Panjang, meniru model sekolah Tan Malaka di Semarang. Organisasi pemuda Sarikat Rakyat, Barisan Muda, menyebar ke seluruh Sumatera Barat. Dua pusat gerakan komunis lain adalah Silungkang dan Padang. Bila di Padang Panjang gerakan berakar dari sekolah-sekolah di Silungkang pendukung komunis berasal dari kalangan saudagar dan buruh tambang.
Sulaiman Labai, seorang saudagar, mendirikan cabang Sarekat Islam di Silungkang, Sawahlunto pada 1915. Pada tahun 1924 cabang ini diubah menjadi Sarekat Rakyat. Selain itu berdiri juga cabang organisasi pemuda komunis, IPO.
Di Padang basis PKI berasal dari saudagar besar pribumi. Salah satu pendiri PKI cabang Padang adalah Sutan Said Ali, yang sebelumnya menjadi pengurus Sarikat Usaha Padang. Di bawah kepemimpinannya mulai tahun 1923 PKI seksi padang meningkat anggotanya dari hanya 20 orang menjadi 200 orang pada akhir 1925.
Pertumbuhan gerakan komunisme terhenti setelah pemberontakan di Silungkang 1927. Para aktivis komunis ditangkap, baik yang terlibat pemberontakan ataupun tidak. Banyak di antaranya yang dibuang ke Digul.

Sumatera Barat: 1930-an

Merebaknya partai-partai politik

Meskipun komunisme menjadi sangat populer pada dasawarsa 1920-an kaum agama yang tak setuju dengan ideologi baru itu pun tetap berkembang. Awal tahun 1920 berdiri PGAI (Persatuan Guru Agama Islam) dengan tujuan mengumpulkan ulama-ulama di Sumatera Barat. Atas prakarsa H. Abdullah Ahmad tahun 1924 berdirilah sekolah Normal Islam di Padang. Sekolah ini dimaksudkan sebagai sekolah lanjutan, lebih tinggi daripada Sumatera Thawalib yang merupakan sekolah rendah.
Setelah melawat ke Jawa tahun 1925 dan bertemu pemimpin-pemimpin Muhammadiyah di sana Haji Rasul turut mendirikan cabang Muhammadiyah. Pertama di Sungai Batang dan kemudian di Padang Panjang. Organisasi ini dengan cepat menjalar ke seluruh Sumatera Barat.
Muhammadiyah berperan penting dalam menentang pemberlakuan Ordonansi Guru di Sumatera Barat tahun 1928. Dengan ordonansi ini guru agama diwajibkan melapor kepada pemerintah sebelum mengajar. Peraturan ini dipandang mengancam kemerdekaan menyiarkan agama. Sebelumnya Muhammadiyah di Jawa sudah memutuskan meminta ordonansi ini dicabut. Pada tanggal 18 Agustus 1928 diadakanlah rapat umum yang kemudian memutuskan menolak pemberlakuan ordonansi guru.
Meskipun terlibat dalam penolakan Ordonansi Guru, berbeda dengan organisasi komunis seperti Sarikat Rakyat, pada umumnya Muhammadiyah menghindari kegiatan politik. Penumpasan gerakan komunis tahun 1927 menyebabkan banyak anggota Sarekat Rakyat atau simpatisannya berpaling ke Muhammadiyah mencari perlindungan. Para anggota yang lebih radikal ini tidak puas dan kemudian banyak yang keluar untuk aktif dalam Persatuan Sumatra Thawalib. Organisasi ini pada tahun 1930 menjelma menjadi partai politik bernama Persatuan Muslim Indonesia, disingkat Permi. Dengan asas Islam dan kebangsaan (nasionalisme) Permi dengan cepat menjadi partai politik terkuat di Sumatera Barat, dan menyebar ke Aceh, Tapanuli, Riau, Jambi dan Bengkulu. Partai ini menjadi wadah utama paham Islam modernis. Tokoh-tokoh Permi yang terkenal antara lain Rasuna Said, Iljas Jacub, Muchtar Lutfi dan Djalaluddin Thaib.
Partai lain yang juga penting adalah PSII cabang Sumatera Barat yang berdiri tahun 1928, dan PNI Baru. PSII Sumatera Barat seperti Permi sangat kuat sikap anti-penjajahannya. Namun tidak seperti Permi yang berakar dari perguruan agama tokoh-tokoh PSII umumnya berasal dari pemimpin adat.
Cabang PNI Baru di Bukittinggi diresmikan Hatta tak lama setelah kepulangannya dari Belanda tahun 1932. Sebelumnya cabang Padang Panjang sudah didirikan oleh Khatib Sulaiman.
PARI pimpinan Tan Malaka (didirikan di Bangkok 1929) punya pengaruh cukup besar, meskipun anggotanya sendiri tidak banyak. Pengaruh PARI terutama lewat tulisan Tan Malaka yang disebarkan sampai tahun 1936.

Penumpasan

Pada pertengahan 1933 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan larangan berkumpul. Yang menjadi sasaran utama di Sumatera Barat adalah Permi dan PSII. Sementara itu Rasuna Said sudah ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Jawa. Tokoh-tokoh Permi dan PSII awalnya dilarang bepergian, kemudian kedua partai dikenai larangan terbatas dalam mengadakan rapat umum. Pada akhirnya tokoh-tokoh Permi dan PSII ditangkap dan dibuang ke Digul. Permi akhirnya bubar pada 18 Oktober 1937.
Pada saat yang sama di Batavia tokoh-tokoh Partindo dan PNI Baru juga ditangkap. Sukarno diasingkan ke Flores, Hatta dan Sjahrir ke Digul. Pimpinan PNI Baru cabang Sumatera Barat sendiri dibiarkan bebas karena mereka membatasi kegiatan politik partai. Sementara itu tokoh-tokoh PARI berhasil ditahan Belanda yang bekerja sama dengan dinas Intelijen Inggris. Tan Malaka, pimpinannya, lolos.

Pendudukan Jepang

Lihat pula: Sumatera Barat pada masa pendudukan Jepang
Jepang memasuki Padang pada 17 Maret 1942. Sukarno yang pada saat itu berada di Padang berhasil meyakinkan sebagian besar tokoh-tokoh nasionalis di Sumatera Barat agar mau bekerja sama dengan Jepang.
Tahun 1943 Jepang memerintahkan pendirian Gyu Gun untuk membantu pertahanan. Gyu Gun di Sumatera Barat dipimpin oleh Chatib Sulaiman yang memilih dan merekrut calon perwira dari Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Gyu Gun merupakan satu-satunya satuan ketentaraan yang dibentuk Jepang di Sumatera Barat. Tentara Sukarela ini kemudian menjadi inti Divisi Banteng.

sejarah suku batak

Posted by Anugrahbowotasa

Suku Batak


Suku Batak
Tokoh Batak 2.jpg
Tokoh-tokoh dari suku Batak
Amir Sjarifoeddin, Abdul Haris Nasution, Burhanuddin Harahap, Adnan Buyung Nasution, TB Simatupang, Sitor Situmorang
(dari kiri ke kanan)
Jumlah populasi
6.076.440 jiwa (Sensus 2000)[1]
Kawasan dengan konsentrasi signifikan
Sumatera Utara 4.827.000
Riau 347.000
Jakarta 301.000
Jawa Barat 275.000
Sumatera Barat 188.000
Bahasa
Toba
Angkola
Karo
Simalungun
Pakpak
Mandailing
Agama
Kristen
Islam
Parmalim
Animisme
Kelompok etnik terdekat
Suku Alas
Suku Nias
Suku Melayu
Suku Minangkabau
Suku Bugis
Suku Dayak
Suku Rimba
Suku Gayo
Suku Singkil
Suku Aceh
Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.
Saat ini pada umumnya orang Batak menganut agama Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan Islam Sunni. Tetapi ada pula yang menganut kepercayaan tadisional yakni: tradisi Malim dan juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.

sejarah suku jawa

Posted by Anugrahbowotasa

Suku Jawa


Suku Jawa
Notable Javanese 2.jpg
Tokoh Jawa terkenal; dari atas ke bawah:
baris atas: Raden Wijaya, Tribhuwana Tunggadewi, Gajah Mada, Diponegoro, Raden Saleh.
baris tengah: Pakubuwono X, Kartini, Sukarno, Suharto, Sudirman.
baris bawah: Anggun C. Sasmi, Sri Mulyani Indrawati, Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarnoputri, Dian Sastrowardoyo.

Jumlah populasi
± 100.000.000 (2009)
Kawasan dengan konsentrasi signifikan
Indonesia 95.217.022 [1]
       Jawa Tengah 31.560.859
       Jawa Timur 30.019.156
       Jawa Barat 5.710.652
       Lampung 4.856.924
       Sumatera Utara 4.319.719
       Jakarta 3.453.453
       Yogyakarta 3.331.355
       Sumatera Selatan 2.037.715
       Banten 1.657.470
       Riau 1.608.268
       Kalimantan Timur 1.069.826
       Jambi 893.156
       Kalimantan Selatan 524.357
       Kalimantan Tengah 478.434
       Kalimantan Barat 427.333
       Kepulauan Riau 417.438
       Aceh 400.023
       Bengkulu 387.281
       Bali 372.514
       Papua 233.145
       Sulawesi Selatan 229.074
       Sulawesi Tengah 221.001
       Sumatera Barat 217.096
       Sulawesi Tenggara 159.170
       Papua Barat 111.274
       Bangka Belitung 101.655
       Maluku 79.340
       Nusa Tenggara Barat 78.916
       Sulawesi Utara 70.934
       Sulawesi Barat 56.960
       Nusa Tenggara Timur 54.511
       Maluku Utara 42.724
Bahasa
Jawa, Indonesia, Melayu (dituturkan oleh komunitas yang berdomisili di Malaysia dan Singapura), Belanda (hanya digunakan oleh yang tinggal di Belanda dan Suriname)
Agama
Mayoritas Islam dan sisanya beragama Katolik, Protestan, Kejawen, Hindu, Buddha dan Konghucu[2]
Kelompok etnik terdekat
Sunda, Madura, Bali
Lukisan seorang gadis Jawa yang dilukis sekitar tahun 1900.
Suku Jawa (Bahasa Jawa Ngoko: ꦮꦺꦴꦁꦗꦮ Wong Jawa, Krama: ꦠꦶꦲꦾꦁꦗꦮꦶ Tiyang Jawi) merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa. [3] Selain di ketiga provinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim di Lampung, Jakarta, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Banten dan Kalimantan Timur. Di Jawa Barat mereka banyak ditemukan di Kabupaten Indramayu, Kabupaten Cirebon, dan Kota Cirebon. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Suku Osing, Orang Samin, Suku Tengger, dan lain-lain. Selain itu, suku Jawa ada pula yang berada di negara Suriname, Amerika Selatan karena pada masa kolonial Belanda suku ini dibawa ke sana sebagai pekerja dan kini suku Jawa di sana dikenal sebagai Jawa Suriname.

auku nias

Posted by Anugrahbowotasa

Suku Nias

Tari Perang diperagakan di halaman tengah pedesaan tradisional. Foto koleksi Tropenmuseum, Amsterdam
Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah).
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.

sejarah kota solok

Posted by Anugrahbowotasa

Kota Solok


Kota Solok
Kota-solok-sumbar zpsb4e10232.jpg
Logo resmi Kota Solok
Logo
Letak Solok di Sumatera Barat
Letak Solok di Sumatera Barat
Kota Solok is located in Indonesia
Kota Solok
Letak Solok di Indonesia
Koordinat: 0°47′58,9″LU 100°39′57,92″BT
Negara Indonesia
Provinsi Sumatera Barat
Pemerintahan
 • Wali Kota H. Irzal Ilyas, M.M
Area
 • Total 57.64 km2 (22.25 mil²)
Ketinggian 514 m (1,686 ft)
Populasi (2010[1])
 • Total 59.317
 • Kepadatan 1.029/km2 (2,670/sq mi)
Zona waktu WIB (UTC+7)
Kode wilayah +62 755
Situs web http://www.solokkota.go.id
Pemandangan jalan di kota Solok (1900-1940)
Peletakan batu pertama sekolah Eropa di Solok di masa Hindia Belanda
Kota Solok Merupakan salah satu kota yang berada di Sumatera Barat, Indonesia. Lokasi kota Solok sangat strategis, karena terletak pada persimpangan jalan antar provinsi dan antar kabupaten/kota. Dari arah Selatan jalur lintas dari Provinsi Lampung, Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi, kota ini merupakan titik persimpangan untuk menuju Kota Padang sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Barat yang jaraknya hanya sekitar 64 Km saja. Bila ke arah utara akan menuju Kota Bukittinggi yang berjarak sekitar 71 Km untuk menuju kawasan Sumatera Bagian Utara. Dulunya Kota ini merupakan Ibu kota Kabupaten Solok.

sejarah kota batusangkar

Posted by Anugrahbowotasa

Batusangkar (kota)


Batusangkar
Ibu kota kabupaten
Alun-alun Batusangkar pada tahun 1928
Alun-alun Batusangkar pada tahun 1928














Batusangkar adalah sebuah kota kabupaten yang merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Tanah Datar. Kota ini berada pada tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Lima Kaum, Kecamatan Tanjung Emas, dan Kecamatan Sungai Tarab.

Daftar isi

Asal Usul

Kenapa bernama Batusangkar belum dapat diketahui dengan pasti,banyak yang menyebutkan batusangkar berasal dari kata batu dan sangkar, namun tidak diketemukan pasti dimana batu yang berada dalam sangkar ataupun batu berbentuk sangkar. yang jelas daerah ini sebelumnya dikenal sebagai Fort Van der Capellen selama masa kolonial Belanda, yaitu sebuah benteng pertahanan Belanda yang didirikan sewaktu Perang Padri. Benteng ini dibangun antara 1822 dan 1826 dan dinamai menurut nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda, G.A.G.Ph. van der Capellen. Kawasan ini secara resmi berganti nama menjadi Batusangkar pada tahun 1949, menggantikan nama kolonialnya.
Benteng Van der Capellen tahun 1826
Setelah meredanya PRRI/Permesta, pada tahun 1957, kawasan ini diduduki oleh batalyon 439 Diponegoro, dan selanjutnya pada tanggal 25 Mei 1960 menjadi kantor Polres Tanah Datar.

Sekilas tentang Batusangkar

di batusangkar sendiri terdapat beberapa gedung dan sarana pemerintahan penting yang menjadikan kekhasan batusangkar sebagai ibukota tanah datar

Fort Van der Capellen

Dan seiring dengan perkembangan zaman dan adanya keinginan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Datar untuk memindahkan Pastu Pemerintahan dari Batusangkar ke Pagaruyung, maka pada tanggal 26 April 2001 Markas Komando (Mako) Polres Tanah Datar yang baru di resmikan di Pagaruyung. Dan selanjutnya kawasan ini akan direhabilitasi kembali menjadi Fort Van der Capellen sebagai tempat objek wisata sejarah. Sekarang, kawasan ini masuk menjadi bahagian dari kecamatan Lima Kaum, kabupaten Tanah Datar.
Fort van der Capellen 1822-1826

Gedung Indo Jelito

Gedung Indo Jolito pada tahun 1938
Gedung Indo Jelito adalah kediaman resmi bupati Kabupaten Tanah Datar. Gedung ini adalah bekas kediaman residen Belanda Godert Alexander Gerard Philip van der Capellen. Arsitekturnya bercorak Art Deco.

Gedung Nasional Maharajo Dirajo Tanah Datar

gedung ini merupakan gedung yang sudah sejak lama ada di batusangkar sebagai gedung pertunjukan dan acara acara yang dilakukan oleh pemda dan masyarakat tanah datar, gedung ini kemudian dibangun ulang kembali karena bangunan sebelumnya yang sudah tidak layak, Bangunan baru Gedung Nasional ini dilengkapi ruang pertemuan,ruang rapat kecil, ruang tunggu VIP,gallery,basement dan fasilitas penunjang lainya, Dengan konsep bangunan memakai elemen-elemen bangunan tradisional,seperti gonjong, ukiran dan komposisi rumah gadang Minangkabau, Gedung Nasional merupakan gedung pertemuan multifungsi yang dapat digunakan untuk kegiatan pemerintahan maupun kegiatan lainya, Berada dikawasan pusat kota Batusangkar tepatnya di perempatan Jalan Sukarno Hatta, dengan luas site mencapai 3,8 Ha.memungkinkan menjadi landmark kawasan karena posisi di sudut jalan dan di depan Lapangan Cindua Mato.

Fasilitas Publik

tentang fasilitas publik yang ada di batusangkar, batusangkar memiliki fasilitas yang cukup lengkap mulai dari sekolah dasar yang terdiri dari puluhan yang tersebar di seputaran kota, SMP ada SMP 1 batusangkar, SMP 2 batusangkar dan SMP 5 batusangkar, kemudian SMA juga terdapat negeri dan swasta, mulai dari SMA 1 batusangkar, SMA 2 batusangkar, dan SMA 3 batusangkar, swasta terdiri dari SMK progresif dan SMA Muhammadiyah, fasilitas kesehatan mulai dari RSUD hanafiah batusangkar dan beberapa puskesmas di tiap kabupaten, dan pasar kota batusangkar sebagai tempat pergerakan ekonomi di kota ini

sejarah kota payakumbuh

Posted by Anugrahbowotasa

Sejarah Kota Payakumbuh

payakumbuhKETIKA Belanda menginjakkan kaki di ranah Payakumbuh, dengan membentuk Residensi, Afdeling, Onder Afdeling, Kelarasan, dan Nagari, sebagai bentuk pemerintahan. Maka, di Payakumbuh yang merupakan bagian dari Afdeling Luhak Limopuluah, terdapat 13 Kelarasan dengan 13 laras alias “Angku Lareh”. Lantas, dimana 13 Lareh itu? Dan siapa saja yang pernah menjadi Angku Lareh-nya?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, adalah pantas bila kita menyimak kembali tulisan Rusli Amran dalam buku Plakat Panjang yang terkenal itu. Menurut Rusli, Lareh dipimpin oleh seorang Tuanku Lareh (Angku Lareh). Jabatan ini merupakan jabatan tertinggi para pribumi (satu-satu ada juga kaum pribumi jadi regent, tapi sedikit jumlahnya.)
Tugas Tuanku Lareh adalah menjalankan perintah dari atas. Bertanggangung jawab atas keamanan, tanaman paksa kopi, mengerjakan sawah, menjamin keadaan jalan-jalan maupun jembatan di larasnya. Kecuali itu, Tuanku Lareh menurut Rusli Amran, harus mengetahui keadaan di daerahnya dan menulis ke atas, menyelesaikan sengketa-sengketa tertentu, dan bekerjasama dengan para penghulu suku.
Namun dalam segala sepak terjangnya, Tuanku Lareh harus tunduk pada setiap pejabat Belanda yang ada di daerahnya. Dalam arti kata, tidak satupun putusan Tuanku Lareh boleh bertentangan atau tidak mendapat persetujuan pemerintah Belanda selaku atasannya. Dituliskan Rusli Amran, Tuanku Lareh mula-mula mendapat penghasilan dari komisi kopi yang dihasilkan di daerahnya.
Selain itu, dia juga mendapat uang saku dari pajak pasar dan pajak janjang atau pajak tiap rumah-rumah. Namun untuk yang terakhir (pajak janjang-red) hanya berlaku di sejumlah daerah. Kemudian, Tuanku Lareh juga memiliki penghasilan tambahan dari kerja sebagai pengangkat kopi di daerahnya. Bila ditotal, penghasilan Tuanku Lareh setiap bulannya mencapai 60 hingga 80 gulden. Sedangkan gaji seorang Kapalo Nagari sekitar 20 gulden tiap bulannya.
Untuk memperlancar kegiatan dan urusannya, Tuanku Lareh diizinkan penjajah Belanda memiliki 2 sampai 6 orang pembantu pribadi yang disebut dengan istilah Jaga. Sementara untuk kegiatan rodi alias kerja paksa, dia bersama 4 anggota keluarganya, dibebaskan atau boleh tidak bekerja.
Masih menurut Rusli Amran, sekitar akhir abad 19 lalu dan awal abad ke 20, jumlah Lareh banyak sekali, kira-kira 140 (surat Heckler 23 Juni 1906, Mo.2874). Sedangkan jumlah penghulu kepala di tiap Lareh tidak tentu. Ada Tuanku Lareh yang membawahi 17 Kapalo Panghulu, seperti di Tujuah Koto Talago, Limopuluah Koto. Ada yang membawahi 10 Kapalo Panghulu, semisal di Lareh Banuhampu dan Ampek Koto Agam.
Ada pula yang cuma membawahi satu Penghulu Kepala, contohnya di Lubuakatarab. Malahan, ada yang sama sekali tidak membawahi Penghulu Kepala, seperti di Ujuang Gadiang dan Sikilang, Pasaman.
Khusus di Luhak Limopuluah, terdapat 13 Lareh, dengan pimpinan Tuanku Lareh. Ketigabelas Lareh ini membawahi 51 Nagari.Sedangkan sekarang, jumlah nagari di Luhak Limopuluah mencapai 88 nagari, terdiri dari 78 di Kabupaten Limapuluh Kota, 8 di Kota Payakumbuh. Sedangkan di daerah V Koto Kampa yang secara adat masuk bagian Luhak Limopuluah belum dihitung, karena saat ini sudah masuk wilayah administrasi Provinsi Riau.
Payakumbuh mulai terkenal sejak Perang Paderi berkecamuk di Ranah Minang. Namun setelah perang itu usai sekitar tahun 1837, nama Payakumbuh justru tetap dikenal. Toh buktinya, penjajah Belanda yang mendirikan sistem pemerintahan baru di Sumatera Barat bernama Residensi, tetap memandang penting Payakumbuh dengan membentuk Afdeling Luhak Limopuluah yang berkedudukan di kota ini.
Residensi sendiri dikepalai oleh seorang Residen yang berkedudukan di Padang. Residensi dibagi atas beberapa Afdeling dan Onder Afdeling. Khusus untuk Luhak Limopuluah, dijadikan satu Afdeling yang dikepalai Assiten Residen dan berkedudukan di Payakumbuh (Baca: Buku 25 Tahun Payakumbuh).
Sedangkan Afdeling Luhak Limopuluah, dipecah menjadi empat Onder Afdeling. Setiap Onder Afdeling dipimpin oleh seorang bergelar Controuleur.
Keempat Onder Afdeling di Luhak Limopuluah ialah Onder Afdeling Payakumbuh, Onder Afdeling Pangkalan Koto Baru, Onder Afdeling Suliki, dan Onder Afdeling Bangkinang. Kemudian, pada tiap Onder Afdeling terdapat Nagari yang dikepalai oleh Nagari Hoofd atau Kepala Nagari alias Tuak Palo.
Namun, pada beberapa tempat, ada juga Nagari-Nagari yang justru dugabung menjadi satu Keselarasan dengan pimpinan Lareh atau Angku Lareh.
Semasa ini, jangankan bertemu dengan Residen, Assisten Residen, Controuleur, atau Lareh alias Angku Lareh. Bertemu dengan kotoran kuda milik Kepala Nagari alias Tuak Palo saja, rakyat sudah cemas. Mereka takut akan terjadi apa-apanya.
Kembali pada sistem pemerintahan Penjajahan Belanda, ternyata juga mengalami perubahan. Sistem Kelarasan dibawah pimpinan Laras alias Angku Lareh, bertukar nama menjadi Distrik dengan pemimpin bernama Onder Distrik (Baca Buku: Plakat Panjang Rusli Amran).
Pertukaran yang mirip dengan gaya pemerintahan Indonesia saat menyulap Nagari menjadi Desa dan kembali menjadi Nagari itu, dilakukan penjajah Belanda sekitar tahun 1913. Belum diketahui apa penyebab paling utama perubahan sistem pemerintahan ini dilakukan penjajah asal negeri kincir angin tersebut
Setelah nagari-nagari berkembang, lengkap dengan persyaratannya: punya Masjid, balai adat, jalan, pandam pekuburan, tepian tempat mandi, dan gelanggang permainan. Maka, sejumlah pemuka masyarakat dan cerdik cendikia Luhak Limopuluah tempoe doeloe, berkumpul untuk menentukan batas pembagian ulayat (tahun berkumpul masih dalam penelitian).
Dalam pertemuan tersebut, disepakati, batas-batas alias barih-balobeh Luhak Limopuluah. Lantas, dimanakan posisi Payakumbuh menurut barih-balobeh itu?
Menjelang pertanyaan di atas dijawab, ada baiknya kita ingat kembali, petuah tetua tempoe doeloe yang sering diajarkan kepada anak-anak muda di surau (penulis beruntung pernah merasakannya).
Menurut orang tua-tua, yang dinamakan dengan daerah Luhak Limopuluah ialah daerah yang terletak dari Sialang Balantak Basi sampai ke Sisauik Sungai Rimbang, hilirnya sampai di Sipisak Pisau Hanyuik. Dari Durian Ditakuak Rajo sampai ke Siluka Pinang Tungga. Dari Pinang Mancuang Kulik sampai ke Gunung Sailan Mudiak.
Mantan Pucuk Pimpinan Lembaga Adat Alam Kerapatan Minangkabau (Alm) H Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie, dalam berbagai diskusi dengan penulis, membenarkan hal tersebut. Bahkan, tokoh tiga zaman ini dengan jelas memaparkan, dimana daerah-daerah yang disebut dengan Sialang Balantak Basi, Sipisak Pisau Hanyuik, Sisauak Sungai Rimbang, Durian Ditakuak Rajo, Siluka Pinang Tungga, Pinang Mancuang Kulik, dan Gunung Sailan Mudiak itu.
Mungkin, pada kesempatan lain dan tulisan yang lain pula, akan kita urai daerah-daerah ini. Sebab sekarang, kita kembali dulu pada musyawarah niniak mamak dan tokoh-tokoh masyarakat Luhak Limopuluah di Balai Koto Tinggi, Sitanang Muaro Lakin (sekarang Sitanang jadi Nagari dalam Kecamatan Lareh Sago Halaban, Kabupaten Limapuluh Kota).
Ternyata, dalam musyawarah tersebut, juga ditetapkan, bahwa Luhak Limopuluah terbagi atas lima ulayat atau disebut juga dengan Ulayat Limo Rajo. Masing-masing ulayat dipimpin oleh seorang yang disebut Rajo.
Para Rajo ini hanya didahulukan selangkah, ditingggikan seranting. Meskipun demikian, mereka memiliki peranan dan menjadi tokoh yang disegani dalam masyarakat.
Adapun Ulayat Limo Rajo itu ialah: Ulayat Rajo di Hulu (berkedudukan di Situjuah Banda Dalam), Ulayat Rajo di Luhak (berkedudukan di Aia Tabik Minyak Selabu), Ulayat Rajo di Lareh (berkedudukan di Sitanang Muaro Lakin), Ulayat Rajo di Ranah (berkedudukan di Talago Gantiang), dan Ulayat Rajo di Sandi (berkedudukan di Kumbuah Nan Payau), sebagian juga menyebut di Koto Nan Godang).
Masing-masing ulayat ini dilengkapi pula dengan batas, barih balobeh ulayat, serta orang-orang kebesarannya. Untuk Ulayat Rajo di Hulu, sebagai rajanya ialah Datuk Simagayur Nan Mangiang (tapi sebagian ada juga yang berpendapat Datuk Marajo Simagayur).
Untuk Ulayat Rajo di Luhak sebagai rajanya ialah Datuk Majo Indo Nan Mamangun. Kemudian, untuk Ulayat Rajo di Lareh, ditetapkan sebagai rajanya Datuk Paduko Marajo. Sedangkan untuk Ulayat Rajo di Ranah yang menjadi rajanya ialah Datuk Bandaro Hitam. Sementara untuk Ulayat Rajo di Sandi sebagai rajanya ialah Datuk Parmato Alam Nan Putiah.

sejarah kota pdang panjang

Posted by Anugrahbowotasa

Kota Padang Panjang


Kota Padang Panjang
Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM)
Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM)
Logo resmi Kota Padang Panjang
Logo
Semboyan: Padang Panjang kota Serambi Mekah
Letak Padang Panjang di Sumatera Barat
Letak Padang Panjang di Sumatera Barat
Kota Padang Panjang is located in Indonesia
Kota Padang Panjang
Letak Padang Panjang di Indonesia






















Kota Padang Panjang adalah kota dengan luas wilayah terkecil di Sumatera Barat, Indonesia.
Kota ini memiliki julukan sebagai Kota Serambi Mekkah, dan juga dikenal sebagai Mesir van Andalas.[2] Sementara wilayah administratif kota ini dikelilingi oleh wilayah administratif kabupaten Tanah Datar.
Welcome to My Blog

Label

Blogroll

About

Popular Post

- Copyright © "Saint of my life" -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by ANONYMOUS 91 -